Review Buku Yes To Life - Viktor E. Frankl

Review buku Yes To Life karya Viktor E Frankl, mengisahkan bagaimana ia bisa bertahan di camp konsentrasi Nazi Jerman
Ia adalah seorang profesor neurologi dan psikiatri di Universitas Wina. Ia lahir di Wina pada 1905, selama perang dunia II, Frankl pernah menjadi tawanan Nazi Jerman, dan dibawa ke kamp-kamp konsentrasi. Setelah bebas dari tawanan Nazi beberapa bulan kemudian ia memberikan kuliah di Universitas Wina dan buku ini adalah isi dari kuliah tersebut Perjalanan hidupnya yang mengerikan itu diceritakan pada buku ini. Selain buku YES TO LIFE ia juga menulis buku-buku lainnya yang terkenal, dan termasuk 10 buku paling berpengaruh di Amerika yang berjudul “MAN’S SEARCH FOR MEANING” lain waktu kita bahas bukunya oke.


Pendahuluan

Sebelumnya saya ingin berpesan kepada diri saya sendiri dan pembaca, untuk tidak lupa membaca buku, yaa memang kelihatannya berat, tapi dengan kita membiasakan membaca buku dan memahami isinya itu lama-lama akan terbiasa, dimulai dari buku yang kecil-kecil dulu.

Oke, tanpa basa-basi lagi kita langsung saja review buku yang sudah saya baca, buku ini berjudul “YES TO LIFE” karya Viktor Emil Frankl.


Secara garis besar buku ini membahas tentang bagaimana kita tetap mengatakan YA pada kehidupan meskipun masalah terberat datang dalam hidup kita, sebagaimana judulnya YES TO LIFE diambil dari sebuah lirik lagi yang sering dinyanyikan para tahanan Nazi di kamp-kamp konsentrasi dengan suara yang pelan, lirik tersebut seperti berbunyi:

“Whatever our future may hold; We still want to say 'yes to life, Because one day the time will come. Then we will be free.”

Yang artinya:

"Apapun kemungkinan yang terjadi di masa depan

Kita tetap akan mengatakan 'ya untuk hidup,'

Karena suatu hari nanti akan datang

Dan kita akan bebas."

Pembahasan

Oke buku ini memuat tiga bagian utama, mengenai bahan kuliah yang disampaikannya setelah bebas dari kamp konsentrasi Nazi.


Bagian pertama dan kedua membahas seputar makna dan nilai kehidupan, yang mana bagian pertama memuat pembahasan tentang “perasaan depresi, stress, dan menderita yang akhirnya menyebabkan seseorang bunuh diri” dan bagian kedua membahas tentang “pengabaian paksa kehidupan seseorang karena dianggap tak bermakna”. Dan pada bagian ketiga membahas tentang “pengamataanya pada kamp konsentrasi Nazi yang semakin mendukung keyakinannya sebelum ditawan.”


Bagian Pertama

Pada bagian pertama, Frankl berkata

“Menyelesaikan masalah dengan bunuh diri itu sangat absudr. Bayangkan seorang pemain catur menghadapi langkah rumit dan tidak bisa menemukan solusi, apa yang dia lakukan? Membalikan papan catur? Apakah benar itu solusinya? Tentu tidak.”

Menurut pandangannya, kehidupan ini terlalu berharga untuk ditinggalkan begitu saja dengan sia-sia. Terlepas dari banyaknya penderitaan yang datang kepada seseorang bukan menjadi alasan untuk melakukan bunuh diri.

Ia menyebutkan ada 4 alasan seseorang untuk melakukan bunuh diri

  1. Terkait dengan kondisi fisik seseorang sehingga berpengaruh terhadap kondisi mentalnya, kemudian ia merasa hidup takbermaknanya yang akhirnya bunuh diri.
  2. Rasa balas dendam seseorang terhadap lingkungannya atas sesuatu yang ditimpakan kepadanya, kemudian ia ingin memberikan rasa bersalah kepada mereka yang telah mendorongnya untuk bunuh diri.
  3.  Seseorang yang merasa lelah akan hidup yang dijalaninya
  4.  Orang yang tidak percaya bahwa hidup itu memiliki makna, mereka membandingkan apa yang mereka miliki dengan apa yang seharusnya. Mereka merasa tidak puas terhadap kehidupan yang mereka jalani.

Menurut Frankl bunuh diri merupakan ketakbermaknaan paling tinggi, daripada melebih-lebihkan penderitaan hidup, lebih baik kita merenungkan aspirasi yang lebih besar bagi hidup kita. Ia mengutip perkataan Nietzsche:

“Siapapun yang memiliki alasan mengapa untuk hidup, akan mampu menahan hampir semua bagaimana keadaan hidupnya.”

Pepatah tersebut digunakannya untuk memberikan penjelasan bagi tekad kuat selamat dari kamp Nazi, mereka yang menemukan makna dan tujuan hidup dan memiliki mimpi berkontribusi pada kehidupan, memiliki kemungkinan selamat lebih besar ketimbang mereka yang menyerah.


Frankl juga menjelaskan, bahwa bukan kita yang seharusnya bertanya tentang makna kehidupan, tapi kehidupanlah yang bertanya kepada kita, yang meminta pertanggungjawaban kita. Pertanyaan-pertanyaan itu hanya bisa dijawab dengan tindakan kita, melalui karya kita, apa yang kita lakukan setiap hari, jam, menit, detik, dan setiap momen, itu kita gunakan untuk kebermanfaatan.


Bagian Kedua

Pada bagian kedua, Frankl mengatakan

“Penyakit tidak harus menyebabkan hilangnya makna hidup. Ia justru menghadirkan sesuatu yang penuh makna.”

Ia memberikan contoh seorang desainer profesional yang mengalami penyakit tumor ganas, seiring berjalannya waktu ia tidak bisa bekerja sebagaimana profesinya itu. Ia pun bersandar kepada penemuan makna hidupnya dalam kondisi yang terbatas. Pada saat dirumah sakit ia banyak membaca buku yang sebelumnya tidak punya waktu untuk membacanya. Ia juga aktif mendengarkan radio dan berdiskusi yang membangkitkan semangat dengan sesama pasien. Setelah sekian lama akhirnya ia tidak bisa bicara dan berdiskusi lagi, pada saat-saat jam terakhirnya ia meminta disuntikan morfin agar merasa nyaman pada saat sekaratnya, ia tidak ingin jadi pengganggu para perawat yang berjaga. Bahkan pada masa terakhirnya ia masih memikirkan orang lain.


Frankl menegaskan, bahwa seseorang yang sudah diambang kematianpun masih ingin memiliki makna dalam kehidupannya, lantas apa hak kita untuk mengabaikan hal tersebut? Menganggapnya sia-sia. Kita tidak boleh mengesampingkan kebermanfaatan seseorang apapun itu bentuknya meskipun seseorang tersebut sakit parah.


Bagian Ketiga

Pada bagian ketiga, berisi penjelasan dari pengamatan yang dilakukan Frankl saat menjadi tawanan Nazi Jerman, yang mana menambah keyakinan atas gagasannya mengenai makna hidup sebagai sumber kekuatan.


Frankl sudah menyusun gagasan tersebut secara sistematis dalam bentuk manuskrip sejak 1941, gagasan tersebut telah berhasil menekan angka bunuh diri remaja pelajar di Jerman pada waktu itu. Kemudian pada waktu ditawan oleh Nazi ia membawa draf tersebut dan berharap bisa menerbitkannya suatu hari nanti. Meskipun draf yang dijahit pada lipatan jaket tersebut harus diserahkan kepada Tentara Nazi, ia dapat mengamati bahwa dalam situasi penderitaan yang ekstrim, semua gagasanya tetap berlaku.


Terbukti bahwa, para tawanan yang berharap akan makna kehidupan, cenderung memiliki kekuatan untuk melanjutkan hidup meskipun dalam kamp. Dan itulah yang pada akhirnya membuat mereka dan juga Frankl berhasil dibebaskan. Hal yang membuat Frankl bertahan adalah harapan bertemu setidaknya dengan salah satu orang-orang yang dicintainya dan meneruskan draf bukunya hingga selesai hingga diterbitkan.


Kesimpulan

Dari sini kita bisa simpulkan bahwa pada masa-masa sesulit apa pun tak ada alasan bagi kita untuk menyerah begitu saja, dengan menghargai setiap hal yang datang di kehidupan kita, kita bisa menemukan makna di dalamnya.


Satu kalimat dari saya, “Hidupkanlah Hidup Dengan Kehidupan yang Menghidupkan.”

Bagaimana? Menarik bukan isi bukunya... bagi yang ingin tahu keseluruhan isi bukunya silahkan cek link di bawah ini.


Buku Yes to Life - Viktor E. Frankl 

TerlamaLebih baru

2 komentar